Minggu, 12 April 2015

Iddah Bagi Laki-laki Perlukah??? 

 Telah menjadi kesepakan para ulama dan merupakan ketentuan hukum yang pasti bahwa iddah merupakan konsekuensi yang harus dijalani oleh seseorang perempuan akibat perceraian, baik mati maupun hidup. Penetapan hukum iddah yang diperuntukkan bagi perempuan sudah jelas dan gamblang dijelaskan oleh Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’. Seperti halnya Hadits Nabi SAW : حدثنا محمد بن عبدوس بن كامل, حدثنا على بن الجعد, انا شعبة, عن أشعث بن سوار, عن الشعبي, عن مسروق, عن عبد الله قال : الطلاق باالرجال و العدة باالنساء. Artinya : Talak adalah hak seorang laki-laki sedangkan iddah dibebankan pada seorang perempuan. Seiring berjalannya waktu, ketentuan mengenai pemberlakuan iddah yang hanya dilakukan oleh seorang perempuan, juga dalam beberapa kasus berlaku juga bagi laki-laki. Pemberlakuan iddah bagi seorang laki-laki dikenal dalam literatur-literatur fikih (seperti Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, ‘Ianah al Tholibin dan Kitab al-Fiqh ala al-Madhahib al-Arba’a), terdapat dalam dua kondisi, yakni: 1. Jika seorang laki-laki mencerai istrinya dengan talak bain, dan dia mau menikahi seseorang yang tidak boleh dikumpulinya seperti saudara perempuan dari istri. Maka dia tidak diperkenankan, sehingga iddah istri pertama, yang termasuk ada ikatan mahram dengan calon istri yang kedua selesai. 2. Jika seorang mempunyai empat istri, keudian ia mentalak salah satunya untuk menikahi yang kelima, maka dia tidak diperkenankan menikah dengan yang kelima sehingga iddah yang dijalani oleh istri yang di talak selesai. Adapun mengenai interval waktu yang harus dijalani oleh kaum laki-laki dalam aktifitas iddah tersebut adalah sebagaimana proporsi iddah yang dijalani seoleh kaum perempuan tersebut. Sebab adanya iddah yang dijalani oleh laki-laki karena adanya mani’ syar’i yang menyebabkan ia harus melakukan aktivitas iddah tersebut yang hal ini bergantung terhadap iddahnya kaum perempuan. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefiniskan masa penantian yang harus dijalani seorang laki-laki dalam keadaan dua kondisi di atas. Apakah masa penantian tersebut dikatakan iddah?, atau hanya penantian biasa yang harus dijalani oleh seorang suami?. Ulama dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa penantian tersebut tidak dikatan iddah secara syar’i. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, menurutnya seorang laki-laki tidak mempunyai masa iddah, penantian tersebut hanyalah penantian wajib yang harus dilalui dikarenakan ada Mani’ Syar’i. Dua pendapat ini senada juga dengan sebagian ulama Malikiyah dengan dalih bahwa iddah adalah masa yang dijadikan indikator terhadap bersihnya rahim. Ini dapat dipahami secara pasti bahwa laki-laki tidak mempunyai rahim, sehingga tidak ada iddah baginya. Tidak dapat dipungkiri, ketentuan iddah selama ini hanya diberlakukan bagi wanita. Hal tersebut dikerenakan sumber-sumber hukum Islam dan Ijma’ Ulama secara tekstual menentukan bahwa iddah sebagai perilaku ibadah yang khusus diberlakukan pada pihak perempuan dan hukum ini dianggap final, tidak dapat digugat dan diijtihadi. Dengan perkembangan sosio-kultural yang semakin pesat, wacana pemberlakuan iddah bagi laki-laki hadir kembali. Sebagai bentuk reaksi tuntutan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Iddah yang selama ini hanya terpaku pada perempuan, mulai di perbincangkan dan di tujukan pada kaum laki-laki. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menggunakan pendekatan sosio-kultural dalam pemberlakuan iddah disamping pendekatan seks (kelamin) yang selama ini digunakan. Jika dilihat dari prespektif seks (kelamin) pelaksanaan iddah sangat memperhatikan kondisi perempuan, seperti; sudah dicampuri atau belum, masih mengalami haid atau tidak, dalam keadaan hamil atau tidak. Selain itu, bila ditinjau dari tujuan diberlakukannya iddah adalah mengetahui kebersihan rahim yang jelas-jelas sangat terkait dengan kondisi biologis perempuan. Dalam hal ini, tampak logis jika iddah hanya berlaku untuk perempuan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pemberlakuan iddah pada zaman Nabi dipengaruhi pula dengan sosio-kultural masyarakat pada saat tersebut. Fakta historis yang dapat mewakili argumen tersebut adalah kondisi sosio-kultural pada saat diturunkannya ketentuan iddah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari latar belakang kehidupan masa Arab pra-Islam yang sangat tidak mengakui keberadaan kaum wanita. Serta dalam konteks budaya patriarkl, yakni perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki. Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian adalah mengapa Al-Quran tidak secara langsung mewajibkan iddah bagi laki-laki dan perempuan? Hal ini karena Al-Qur’an tidak diturunkan dalam suatu mayarakat yang kosong akan norma-norma sosial. Seperti pernyataan diatas, bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan latar belakang budaya patriarkal masyarakat Arabia sehingga tidak mungkin bagi Al-Qur’an untuk mengabaikan begitu saja konteks (norma-norma sosial) yang ada dengan secara langsung mewajibkan iddah mengikat bagi laki-laki dan perempuan. sebab, jika hal tersebut dilakukan, kemungkinan ajaran Al-Qur’an akan sulit diterima oleh masyarakat Arabiah pada saat itu. Dari fakta historis tersebut, dapat dipahami secara jelas bahwasanya sejak awal iddah berhubungan dengan persoalan gender yang terjadi pada zaman dahulu yakni kedudukan dan peran wanita sepeninggal suaminya. Jika dilihat dari konteks zaman sekarang, perempuan tidak lagi memiliki peran yang sama seperti zaman dahulu. Perempuan zaman sekarang juga dapat memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam konteks gender. Jika demikian kewajiban iddah yang hanya berlaku bagi perempuan selama ini, bukanlah suatu harga mati (kodrat) yang tidak dapat diubah. Justru semestinya iddah yang mengikat baik kepada perempuan maupun laki-laki sehingga dapat mewujudkan kesetaraan gender dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Iddah sesungguhnya dicanangkan sebagai wahana untuk mempertimbangkan kembali baik dan buruknya perceraian. Selain itu, iddah lebih dirasa berfungsi sebagai ikatan simbolik adanya kesedihan mendalam yang melanda suami isteri karena adanya perpisahan dengan orang yang selama ini menjadi teman hidup sehari-hari. Sebagai etika moral, maka bukan hanya seorang wanita yang harus beriddah, laki-laki pun sebenarnya wajib juga menegakkan etika perceraian dengan melakukan iddah. Kewajiban introspeksi diri juga bukan hanya milik wanita, namun laki-laki pun juga memiliki kewajiban introspeksi diri. Oleh karena itu, yang terpenting dari tujuan iddah adalah untuk mengagungkan status perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan). Dalam arti perceraian tidak secara langsung dapat memutuskan ikatan perkawinan, tetapi harus melalui masa iddah terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan perkawinan bukan hanya sebuah kontrak saja, melaikan juga sebuah perjanjian yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, relasi antara laki-kali dan perempuan yang sebelumnya didasarkan pada hierarki, dominasi-subordinasi, dapar di perbaiki menjadi hubungan kemitraan. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa laki-laki juga perlu untuk melaksanakan iddah, sebagai bentuk menegakkan etika perceraian, introspeksi diri serta mengagungkan status perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh. Hal tersebut dilakukan agar nantinya tidak terjadi sakit hati dari pihak wanita maupun keluarganya karena tindakan suami yang melampaui batas setelah terjadi perpisahan.

Kamis, 20 Februari 2014

Hadhanah

Hak Asuh Anak Dalam Perceraian (Hadhanah) Selain terhadap harta pekawinan, sebuah perceraian dari perkawinan yang berdasarkan hukum Islam juga memberi akibat terhadap anak, yaitu siapa yang memegang hak asuh anak (hadhanah) setelah kedua orang tuanya bercerai. Dalam banyak kasus perceraian, persoalan hak asuh anak merupakan masalah yang sering menjadi pangkal sengketa diantara suami-istri yang bercerai. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada prinsipnya jika terjadi perceraian maka hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan hanya kedekatan lahiriah semata, melainkan juga kedekatan batiniah. Hak asuh anak oleh ibunya dapat digantikan oleh kerabat terdekat jika ibunya telah meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam telah menentukan, bahwa jika ibu si anak meninggal, maka mereka yang dapat menggantikan kedudukan ibu terhadap hak asuh anaknya meliputi: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu. 2. Ayah. 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. Namun meskipun pada prinsipnya hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya, Kompilasi Hukum Islam masih memberi kesempatan kepada si anak untuk memilih ikut ayah atau ibunya. Pilihan itu diberikan kepada anak yang telah mumayyiz, yaitu seorang anak yang telah berumur 12 tahun. Seorang anak yang telah berumur 12 tahun oleh hukum dianggap telah dapat menentukan pilihannya sendiri ketika kedua orang tuanya bercerai, yaitu mengikuti ayah atau ibunya. Pelaksanaan hak asuh anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya, harus disertai oleh jaminan keselamatan jasmani dan rohani si anak meskipun biaya kehidupan si anak telah tercukupi. Apabila pemegang hak asuh anak, baik ayah maupun ibunya, ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan dapat meminta kepada Pengadilan Agama untuk memindahkan hak asuh anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh. Siapapun yang memegang hak asuh kemudian, semua biaya hak asuh dan nafkah anak merupakan tanggung jawab ayahnya. Tanggung jawab tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya, dan berlangsung sampai anak tersebut dewasa (21 tahun).(legalakses.com). Mengajukan Gugatan Cerai Perjalanan sebuah perkawinan tidak selamanya manis. Di tengah jalan selalu ada saja gelombang dan rintangannya, baik yang menyangkut masalah ekonomi, keluarga, orang ketiga, bahkan perasaan bosan – dan banyak kasus menyangkut kekerasan dalam rumah tangga. Rintangan-rintangan ini biasanya menjadi titik-titik kritis yang mendahului perceraian. Meskipun dalam Islam perceraian dibenci oleh Allah, namun perceraian – dengan alan-alasan tertentu – merupakan perbuatan yang diperbolehkan. Untuk mengajukan perceraian dibutuhkan alasan yang kuat. Undang-undang Perkawinan – UU Nomor. 1 Tahun 1974 – telah menentukan bahwa alasan-alasan untuk mengajukan perceraian itu meliputi: • Suami berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, atau menjadi penjudi. • Suami meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin atau alasan yang jelas dan benar. • Suami dihukum penjara selama 5 tahun atau lebih. • Suami melakukan penganiayaan terhadap istri. • Suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya. • Terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tanpa kemungkinan untuk rukun kembali. • Suami melanggar ta’lik talak yang telah diucapkannya saat ijab-qabul. • Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Apabila terjadi salah satu keadaan seperti diatas, masing-masing suami atau istri berhak untuk mengajukan perceraian – namun sekali lagi, Allah membenci perceraian itu. “Permohonan Talak” dan “Gugatan Cerai” Suatu perceraian harus diputuskan melalui Pengadilan Agama – dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan atau gugatan perceraian. Apabila suami yang mengajukan perceraian, maka pengajuan itu dinamakan Permohonan Talak, sedangkan jika istri yang mengajukan maka pengajuan itu disebut Gugatan Cerai. Dalam Permohonan Talak, PEMOHON meminta kepada Pengadilan Agama untuk diadakan sidang pembacaan ikrar talak. Dengan dilakukannya pembacaan ikrar talak dalam sidang tersebut, maka hubungan suami-istri diantara PEMOHON dan TERMOHON akan putus karena perceraian. Dalam Gugatan Cerai, PENGGUGAT meminta kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara gugatan itu untuk memutuskan hubungan perkawinannya dengan TERGUGAT. Dengan putusan tersebut, maka hubungan suami-istri diantara PENGGUGAT dan TERGUGAT putus karena perceraian. Pada prinsipnya, baik Permohonan maupun Gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Agama secara tertulis. Namun karena tidak semua orang bisa menulis surat Permohonan atau surat Gugatan, maka pengajuan itu juga dapat diajukan secara lisan – selanjutnya Pengadilan Agama akan membantu membuatkan surat Gugatan yang diajukan secara lisan tersebut. Untuk mengajukan Permohonan maupun Gugatan, pihak yang mengajukan juga dikenakan kewajiban untuk membayar panjar biaya perkara. Pihak yang mengajukan Permohonan atau Gugatan yang tidak sanggup membayar panjar biaya perkara dapat dibebaskan dari kewajiban itu (prodeo) dengan terlebih dahulu mengajukan surat permohonan kepada Pengadilan Agama – surat permohonan itu melampirkan surat keterangan tidak mampu. Permohonan dan Gugatan itu tidak dapat diajukan ke sembarang Pengadilan Agama. Pengajuan itu harus dilakukan berdasarkan kewenangan mengadili Pengadilan Agama – kompetensi relatif. Untuk menentukan Pengadilan Agama mana yang berhak menyidangkan Permohonan atau Gugatan, patokannya adalah tempat tinggal istri. Dalam Permohonan Talak, Permohonan itu diajukan ke Pengadilan Agama yang ruang lingkup wilayah kewenangannya meliputi tempat dimana istri – selaku Termohon – bertempat tinggal. Sebaliknya dalam Gugatan Cerai, Gugatan itu diajukan ke Pengadilan Agama yang ruang lingkup wilayah kewenangannya meliputi tempat tinggal Penggugat – tempat tinggal istri yang menggugat. Setelah Permohonan dan Gugatan diajukan ke Pengadilan Agama, selanjutnya Kepaniteraan Pengadilan Agama akan mencatat Permohonan dan Gugatan itu ke dalam buku register perkara dengan memberikan nomor perkara. Ketua Pengadilan kemudian menentukan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus Permohonan dan Gugatan, dan selanjutnya proses pemeriksaan dilaksanakan oleh Majelis Hakim tersebut. Sebelum proses pemeriksaan dilaksanakan, Majelis Hakim terlebih dahulu wajib untuk mendamaikan para pihak melalui mediasi. Jika mediasi gagal, pemeriksaan Permohonan dan Gugatan dilanjutkan kembali. Perceraian akan terjadi pada saat pembacaan ikrar talak dalam Permohonan Talak, atau karena putusan hakim dalam Gugatan Cerai. Akibat Perceraian Putusnya perkawinan akibat perceraian, baik karena Permohonan Talak maupun Gugatan Cerai, akan menimbulkan akibat terhadap anak yang dihasilkan dalam perkawinan tersebut. Demi menjaga pertumbuhan dan mentalitas anak, suatu perceraian tidak mengakibatkan putusnya kewajiban-kewajiban orang tua terhadap anaknya – kewajiban menjaga, mendidik dan memberikan nafkah kepada anak. Walaupun kewajiban orang tua itu tetap melekat pada suami-istri yang bercerai, namun pada prinsipnya hak pengasuhan anak (hadhanah) akan dipegang oleh ibunya – prinsip ini dengan mempertimbangkan kedekatan hubungan batiniah antara ibu dan anak – sementara nafkah anak akan menjadi tanggungan ayahnya. Selain terhadap anak, perceraian juga mengakibatkan perubahan kondisi terhadap harta perkawinan . Dengan terjadinya perceraian, menurut Undang-undang, Harta Bawaan dan Harta Perolehan akan menjadi hak masing-masing suami-istri yang membawanya dan memperolehnya, sedangkan Harta Bersama (gono-gini) akan dibagi dua sama rata diantara mereka. Meskipun Undang-undang mengatur demikian, namun suami-istri dapat menyepakati untuk menentukan kondisi harta perkawinan yang lain dalam suatu Perjanjian Perkawinan – misalnya, sebelum menikah calon suami-istri sepakat untuk menyatukan Harta Bawaan dan Harta Perolehan mereka masing-masing kedalam Harta Bersama. Selain dalam Perjanjian Perkawinan, kondisi harta perkawinan juga dapat diatur tersendiri dalam Perjanjian Perceraian. Umumnya, dalam Permohonan Talak maupun Gugatan Cerai, Majelis Hakim akan menyerahkan pembagian harta perkawinan tersebut kepada kesepakatan masing-masing pihak – sehingga pemeriksaan sidang pengadilan hanya terfokus pada alasan-alasan terjadinya perceraian. Seperti halnya Perjanjian Perkwinan, dalam Perjanjian Perceraian para pihak menyepakati untuk menentukan kondisi harta perkawinan mereka paska perceraian – suami bisa saja mengalah dengan menyerahkan seluruh harta bersama (gono-gini) kepada istri asalkan ia dibebaskan dari kewajiban membayar uang iddah dan mut’ah. (legalakses.com).