Iddah Bagi Laki-laki Perlukah???
Telah menjadi kesepakan para ulama dan merupakan ketentuan hukum yang pasti bahwa iddah merupakan konsekuensi yang harus dijalani oleh seseorang perempuan akibat perceraian, baik mati maupun hidup. Penetapan hukum iddah yang diperuntukkan bagi perempuan sudah jelas dan gamblang dijelaskan oleh Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’. Seperti halnya Hadits Nabi SAW :
حدثنا محمد بن عبدوس بن كامل, حدثنا على بن الجعد, انا شعبة, عن أشعث بن سوار, عن الشعبي, عن مسروق, عن عبد الله قال : الطلاق باالرجال و العدة باالنساء.
Artinya : Talak adalah hak seorang laki-laki sedangkan iddah dibebankan pada seorang perempuan.
Seiring berjalannya waktu, ketentuan mengenai pemberlakuan iddah yang hanya dilakukan oleh seorang perempuan, juga dalam beberapa kasus berlaku juga bagi laki-laki. Pemberlakuan iddah bagi seorang laki-laki dikenal dalam literatur-literatur fikih (seperti Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, ‘Ianah al Tholibin dan Kitab al-Fiqh ala al-Madhahib al-Arba’a), terdapat dalam dua kondisi, yakni:
1. Jika seorang laki-laki mencerai istrinya dengan talak bain, dan dia mau menikahi seseorang yang tidak boleh dikumpulinya seperti saudara perempuan dari istri. Maka dia tidak diperkenankan, sehingga iddah istri pertama, yang termasuk ada ikatan mahram dengan calon istri yang kedua selesai.
2. Jika seorang mempunyai empat istri, keudian ia mentalak salah satunya untuk menikahi yang kelima, maka dia tidak diperkenankan menikah dengan yang kelima sehingga iddah yang dijalani oleh istri yang di talak selesai.
Adapun mengenai interval waktu yang harus dijalani oleh kaum laki-laki dalam aktifitas iddah tersebut adalah sebagaimana proporsi iddah yang dijalani seoleh kaum perempuan tersebut. Sebab adanya iddah yang dijalani oleh laki-laki karena adanya mani’ syar’i yang menyebabkan ia harus melakukan aktivitas iddah tersebut yang hal ini bergantung terhadap iddahnya kaum perempuan.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefiniskan masa penantian yang harus dijalani seorang laki-laki dalam keadaan dua kondisi di atas. Apakah masa penantian tersebut dikatakan iddah?, atau hanya penantian biasa yang harus dijalani oleh seorang suami?. Ulama dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa penantian tersebut tidak dikatan iddah secara syar’i. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, menurutnya seorang laki-laki tidak mempunyai masa iddah, penantian tersebut hanyalah penantian wajib yang harus dilalui dikarenakan ada Mani’ Syar’i. Dua pendapat ini senada juga dengan sebagian ulama Malikiyah dengan dalih bahwa iddah adalah masa yang dijadikan indikator terhadap bersihnya rahim. Ini dapat dipahami secara pasti bahwa laki-laki tidak mempunyai rahim, sehingga tidak ada iddah baginya.
Tidak dapat dipungkiri, ketentuan iddah selama ini hanya diberlakukan bagi wanita. Hal tersebut dikerenakan sumber-sumber hukum Islam dan Ijma’ Ulama secara tekstual menentukan bahwa iddah sebagai perilaku ibadah yang khusus diberlakukan pada pihak perempuan dan hukum ini dianggap final, tidak dapat digugat dan diijtihadi.
Dengan perkembangan sosio-kultural yang semakin pesat, wacana pemberlakuan iddah bagi laki-laki hadir kembali. Sebagai bentuk reaksi tuntutan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Iddah yang selama ini hanya terpaku pada perempuan, mulai di perbincangkan dan di tujukan pada kaum laki-laki.
Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menggunakan pendekatan sosio-kultural dalam pemberlakuan iddah disamping pendekatan seks (kelamin) yang selama ini digunakan. Jika dilihat dari prespektif seks (kelamin) pelaksanaan iddah sangat memperhatikan kondisi perempuan, seperti; sudah dicampuri atau belum, masih mengalami haid atau tidak, dalam keadaan hamil atau tidak. Selain itu, bila ditinjau dari tujuan diberlakukannya iddah adalah mengetahui kebersihan rahim yang jelas-jelas sangat terkait dengan kondisi biologis perempuan. Dalam hal ini, tampak logis jika iddah hanya berlaku untuk perempuan.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pemberlakuan iddah pada zaman Nabi dipengaruhi pula dengan sosio-kultural masyarakat pada saat tersebut. Fakta historis yang dapat mewakili argumen tersebut adalah kondisi sosio-kultural pada saat diturunkannya ketentuan iddah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari latar belakang kehidupan masa Arab pra-Islam yang sangat tidak mengakui keberadaan kaum wanita. Serta dalam konteks budaya patriarkl, yakni perempuan memiliki kedudukan yang lebih rendah dari laki-laki.
Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian adalah mengapa Al-Quran tidak secara langsung mewajibkan iddah bagi laki-laki dan perempuan? Hal ini karena Al-Qur’an tidak diturunkan dalam suatu mayarakat yang kosong akan norma-norma sosial. Seperti pernyataan diatas, bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan latar belakang budaya patriarkal masyarakat Arabia sehingga tidak mungkin bagi Al-Qur’an untuk mengabaikan begitu saja konteks (norma-norma sosial) yang ada dengan secara langsung mewajibkan iddah mengikat bagi laki-laki dan perempuan. sebab, jika hal tersebut dilakukan, kemungkinan ajaran Al-Qur’an akan sulit diterima oleh masyarakat Arabiah pada saat itu.
Dari fakta historis tersebut, dapat dipahami secara jelas bahwasanya sejak awal iddah berhubungan dengan persoalan gender yang terjadi pada zaman dahulu yakni kedudukan dan peran wanita sepeninggal suaminya. Jika dilihat dari konteks zaman sekarang, perempuan tidak lagi memiliki peran yang sama seperti zaman dahulu. Perempuan zaman sekarang juga dapat memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam konteks gender. Jika demikian kewajiban iddah yang hanya berlaku bagi perempuan selama ini, bukanlah suatu harga mati (kodrat) yang tidak dapat diubah. Justru semestinya iddah yang mengikat baik kepada perempuan maupun laki-laki sehingga dapat mewujudkan kesetaraan gender dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Iddah sesungguhnya dicanangkan sebagai wahana untuk mempertimbangkan kembali baik dan buruknya perceraian. Selain itu, iddah lebih dirasa berfungsi sebagai ikatan simbolik adanya kesedihan mendalam yang melanda suami isteri karena adanya perpisahan dengan orang yang selama ini menjadi teman hidup sehari-hari. Sebagai etika moral, maka bukan hanya seorang wanita yang harus beriddah, laki-laki pun sebenarnya wajib juga menegakkan etika perceraian dengan melakukan iddah. Kewajiban introspeksi diri juga bukan hanya milik wanita, namun laki-laki pun juga memiliki kewajiban introspeksi diri.
Oleh karena itu, yang terpenting dari tujuan iddah adalah untuk mengagungkan status perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan). Dalam arti perceraian tidak secara langsung dapat memutuskan ikatan perkawinan, tetapi harus melalui masa iddah terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan perkawinan bukan hanya sebuah kontrak saja, melaikan juga sebuah perjanjian yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, relasi antara laki-kali dan perempuan yang sebelumnya didasarkan pada hierarki, dominasi-subordinasi, dapar di perbaiki menjadi hubungan kemitraan.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa laki-laki juga perlu untuk melaksanakan iddah, sebagai bentuk menegakkan etika perceraian, introspeksi diri serta mengagungkan status perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh. Hal tersebut dilakukan agar nantinya tidak terjadi sakit hati dari pihak wanita maupun keluarganya karena tindakan suami yang melampaui batas setelah terjadi perpisahan.
assalamualaikum pak/buk. saya mau tanya esensi dari EDARAN NO: D.IV/E.d/17/1979 DIRJEN BIMBAGA ISLAM MASALAH POLIGAMI DALAM MASA ‘IDDAH? apakah kua mojoagung menerapkan surat edaran tersebut atau tidak. dan apakah dampak apabila tidak menerapkannya? dan apakah ada masih digunakan atau adanya pengganti dari peraturan tersebut?erimakasih
BalasHapus